
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama menyosialisasikan sertifikasi halal bagi pelaku Industri Kecil dan Menengah (IKM) pangan. Sosialisasi dilaksanakan BPJPH bersama dengan Kementerian Perindustrian.
Dalam sosialisasi tersebut, Plt Kepala BPJPH Mastuki menekankan pentingnya pelaku usaha melaksanakan sertifikasi halal. Mastuki menjelaskan, lahirnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) bertujuan untuk mendorong para pelaku usaha meningkatkan daya saing dan nilai tambah produknya. Semakin tingginya kesadaran masyarakat dunia untuk mengonsumsi produk halal, juga merupakan potensi besar yang perlu manfaatkan secara optimal.
“Halal adalah bagian dari perintah agama, sehingga melaksanakannya adalah kewajiban. Dan sertifikat halal merupakan tool atau alat bagi pelaku usaha dalam memberikan pelayanan terbaiknya kepada konsumen dengan memproduksi dan menyediakan produk yang halal dan thayyib, yang berkualitas premium, yang aman, sehat, bergizi, dan baik untuk dikonsumsi. Sertifikat halal juga merupakan tool atau alat atas keterjaminan dan kepastian kehalalan produk bagi konsumen.” terang Mastuki secara virtual, Selasa (6/7).
Sertifikasi halal, lanjut Mastuki, juga berada di posisi strategis antara halal value chain dan market global. Untuk memudahkan proses perjalanan produk halal dari hulu hingga ke hilir tersebut, perlu adanya kolaborasi yang memperkuat proses sertifikasi halal.
Sebelumnya, Direktur IKM Pangan, Furnitur dan Bahan Bangunan Kemenperin Riefky Yuswandi, mengatakan bahwa Kemenperin melalui sejumlah MoU bersama K/L yang lain telah berkomitmen untuk memberikan kemudahan bagi pelaku usaha khususnya UMK dalam bersertifikasi halal. Salah satunya dengan kolaborasi dalam fasilitasi sertifikasi halal.
“Kemenperin juga melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan daya saing produk IKM pangan melalui program peningkatan daya saing IKM, salah satunya melalui fasilitasi sertifikasi halal,” kata Riefky seperti dilansir dari halal.go.id.
Lebih lanjut, Mastuki yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal tersebut menjelaskan bahwa sesuai amanat PP 39/2021, sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) didasarkan atas pernyataan pelaku UMK atau disebut self declare. Pengaturan mekanisme self declare ini, lanjutnya, masih disiapkan melalui Peraturan Menteri Agama.
Secara umum, self declare diperuntukkan bagi UMK yang merupakan usaha produktif dengan omzet sampai dengan Rp15 miliar. Kategori produknya tidak berisiko atau menggunakan bahan yang dipastikan kehalalannya. Proses produknya juga dapat dipastikan kehalalannya dengan sederhana.
Selain itu, UMK juga harus memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) dan terdaftar di Online Single Submission (OSS) Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Selanjutnya, UMK akan mendapat pendampingan proses produk halal (PPH) dari organisasi kemasyarakatan Islam atau lembaga keagamaan Islam yang berbadan hukum dan/atau perguruan tinggi. Pendampingan PPH juga dapat dilakukan oleh instansi pemerintah atau badan usaha sepanjang bermitra dengan organisasi kemasyarakatan Islam atau lembaga keagamaan Islam yang berbadan hukum dan/atau perguruan tinggi.
Standar lainnya adalah akad atau ikrar tertulis bahwa produknya telah memenuhi kehalalan. Selama proses pendampingan, pelaku usaha didampingi oleh tim pendamping yang nanti akan mengeluarkan validasi dan verifikasi (verval).
“Berdasarkan verval pendamping PPH itulah, dokumen disampaikan ke BPJPH untuk dilakukan pemeriksaan, dan jika sudah terpenuhi maka langsung disampaikan ke MUI untuk penetapan kehalalan produk melalui sidang fatwa di komisi fatwa MUI.” imbuh Mastuki.
Pada acara sosialisasi tersebut, pelaku IKM juga memperoleh penjelasan terkait mekanisme sertifikasi halal yang saat ini telah dilaksanakan secara mandatory melalui BPJPH. Analis Kebijakan pada Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH, Nurgina Arsyad, menjelaskan dengan gamblang prosedur pengajuan sertifikasi halal ini.
“Proses pengajuan sertifikasi halal mencakup beberapa tahapan. Pertama, pelaku usaha mengajuan permohonan sertifikasi halal kepada BPJPH. Kedua, BPJPH melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen permohonan yang dipersyaratkan. Ketiga, pelaku usaha memilih Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan kemudian BPJPH menetapkan LPH jika persyaratan permohonan dinyatakan lengkap. Selanjutnya, LPH melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk. Setelah itu Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan penetapan kehalalan produk melalui Sidang Fatwa Halal. Dan berdasarkan penetapan kehalalan produk dari MUI tersebut kemudian BPJPH menerbitkan sertifikat halal.” jelas Nurgina menjelaskan.
Adapun dokumen persyaratan yang wajib dipenuhi pelaku usaha untuk pengajuan sertifikasi halal, antara lain surat permohonan, formulir pendaftaran, nama produk dan jenis produk, daftar produk dan bahan yang digunakan, dokumen pengolahan produk dan sistem jaminan produk halal.
Pengajuan sertifikasi halal, lanjut Nurgina, dapat dilakukan melalui dua cara. Pertama, pengajuan permohonan secara langsung melalui BPJPH atau Satgas Halal di daerah. kedua, pengajuan permohonan secara elektronik menggunakan Sistem Informasi Halal (SI-HALAL).
“Adapun contoh surat permohonan dan formulir yang dibutuhkan sebagai dokumen persyaratan dapat Bapak Ibu akses dan didownload melalui website kami www.halal.go.id/infopenting.” pungkasnya.
Related Posts
Wapres harapkan literasi ekonomi keuangan syariah meningkat
Buku ‘K.H. Ma’ruf Amin Bapak Ekonomi Syariah’ diluncurkan dari UIN Ar-Raniry
Mengagumi keindahan arsitektur masjid di Indonesia
Presiden Jokowi menunaikan zakat dengan menggunakan robot zakat
Berbagai langkah KNEKS mengakselerasi perkembangan ekonomi syariah
No Responses