
Peluang Indonesia untuk menjadi eksportir produk halal dunia sangat besar. Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Jumlah penduduk muslim yang besar ini merupakan konsumen potensial produk halal. Dan mestinya bisa juga menjadi produsen prospektif bila dapat memanfaatkan peluang yang terbuka lebar di depan mata. Demikian disampaikan Kepala Pusat Kajian Halal, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University Khaswar Syamsu.
Menurut dosen IPB University dari Departemen Teknologi Industri Pertanian (TIN) ini, sektor yang paling potensial untuk produk halal Indonesia adalah makanan, minuman, busana muslimah, kosmetika dan pariwisata halal.
“Sektor makanan, minuman dan busana muslimah yang diproduksi UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) kemungkinannya bisa diandalkan untuk diekspor ke negara-negara muslim. Akan tetapi sektor potensial ini belum digarap secara maksimal. Undang-Undang No 33 Tahun 2014 sudah mewajibkan sertifikasi halal namun masih banyak produk makanan, minuman dan kosmetika yang belum disertifikasi halal,” ujar Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian IPB University ini, seperti dilansir dari ipb.ac.id.
Ia menambahkan, berdasarkan data Global Islamic Economy 2018/2019, negara dengan konsumsi dan pengeluaran tertinggi untuk produk halal setelah Indonesia adalah Turki, Pakistan, Bangladesh, Iran, Saudi Arabia, Nigeria, Rusia dan India. Selain itu, Uni Emirat Arab dan Malaysia juga bisa menjadi negara tujuan ekspor.
“Di dunia, Indonesia merupakan konsumen produk halal nomor satu. Namun sayang, kita ada di posisi nomor 10 untuk peringkat produsen produk-produk halal. Negara eksportir produk halal, justru dikuasai oleh negara-negara dengan penduduk mayoritas nonmuslim. Mereka adalah Brazil, Australia, India, Perancis, China, Sudan dan Belanda. Brazil, Australia dan India adalah eksportir utama daging halal ke Indonesia” terang inovator Keju Nabati IPB University ini.
Oleh karena itu, menurutnya industri dalam negeri juga harus kompetitif dalam konteks harga dan mutu. Dari segi harga, Indonesia bisa lebih kompetitif karena sumber daya alam yang melimpah dan sumber daya manusia sebagai tenaga kerja yang relatif lebih murah.
“Namun dari segi mutu perlu diperbaiki agar bisa kompetitif di dunia,” imbuhnya.
Kaitan dengan proses sertifikasi halal, inovator biofilm IPB University ini menyadari prosedurnya lebih banyak dan lebih panjang dari pada sebelum adanya UU No 33 Tahun 2014. Penambahan mata rantai yang ada saat ini menurutnya mempunyai konsekuensi penambahan waktu proses sertifikasi. Mungkin juga penambahan biaya pada penambahan mata rantai tersebut.
“Penambahan biaya untuk sertifikasi halal tentu akan memberatkan industri. Bagi industri menengah dan besar, mungkin tidak terlalu masalah karena mereka memang sudah menganggarkan biaya promosi dan pemasaran. Tetapi bagi UMKM yang tidak punya anggaran untuk promosi dan pemasaran, tentu penambahan biaya akan menjadi kontra produktif untuk pengembangan produksi halal. Oleh karena itu, saya setuju apabila kredit pengembangan produk halal didukung oleh sistem keuangan syariah yang adil dan tidak memberatkan atau mencekik si peminjam,” tandasnya.
Khaswar Syamsu melihat suatu ekosistem produksi halal perlu didukung oleh pengembangan sumber daya manusia yang bertanggung jawab melalui pendidikan dan pelatihan. Selain itu, perlu adanya riset-riset yang dapat mensubstitusi bahan impor (yang tidak halal) dan riset yang dapat meningkatkan efisiensi dan daya saing industri halal.
“Upaya ini bertujuan agar UMKM dapat menawarkan produk halal dengan harga dan mutu yang lebih kompetitif,” tutupnya.
Related Posts
Berbagai langkah KNEKS mengakselerasi perkembangan ekonomi syariah
KemenkopUKM dorong UKM terhubung ke industri halal
Airlangga Hartarto: Pengesahan Perppu Cipta Kerja permudah sertifikasi halal
Wapres Ma’ruf Amin tekankan 3 hal yang harus dilakukan Baznas
Exhibitor adu promo dan diskon di Muslim Life Fair JIEXPO
No Responses